12 tahun yang lalu hari-hari ini, saya kehilangan data riset saya
hasil kerja selama 15 tahun. Komputer laptop terakhir saya ‘crash’
setelah berhari-hari menjalankan program rekonstruksi data pemindaian.
Sebelumnya 2 komputer lain yang menyimpan data backup hangus tersambar
petir, 2 lagi juga ‘crash’ terlebih dahulu karena tak mampu menjalankan
program.
Ketika baru memulai membina riset di Indonesia selama
6 bulan, langit bagaikan runtuh, seolah-olah mengatakan: “Tak ada tempat buat saya di Indonesia.”
Tak ada ‘shock’ yang lebih berat dari itu yang pernah saya alami
dalam hidup saya hingga membuat saya seminggu lebih tak mampu keluar
rumah.
Tetapi hal itu tak merubah niat saya untuk mencoba membangun riset di
Indonesia. Dari puing-puing akhirnya ECVT (Electrical Capacitance
Volume Tomography) lahir, hari-hari ini 12 tahun yang lalu di sebuah
ruko di Tangerang. Tahun berikutnya paten ECVT didaftarkan di PCT. 3
tahun kemudian ‘granted’. Tahun 2006 ketika polemik sedang
panas-panasnya tentang ECVT, NASA memakainya untuk pengembangan sistem
pemindaian di pesawat ulang-alik. 2007 jurnal ECVT terbit di IEEE
Sensors Journal, dengan alamat Fisika UI. 2008 Dept Energi
Amerika
memakainya sebagai model sistem pemindaian untuk pengembangan ‘Next
generation power plant’ dan untuk verifikasi hasil simulasi supercompter
skala penta-eksa.
Di Indonesia ECVT berkembang lebih banyak ke aplikasi di bidang
medis, bekerja sama dengan Fisika Medis UI, Biofisika ITB, Biologi IPB,
Litbangkes, Metalurgi Untirta, Kedokteran Unair, Biomedik UIN, Biomedik
ITS, Univ. Kyoto dan lain sebagainya. Di Indonesia lahirlah teknologi
pertama di dunia: Breast ECVT untuk screening breast cancer secara 4D
dan instant, serta Brain ECVT untuk pemindaian aktifitas otak secara 4D
dan real time.
Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi
kanker, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy), didaftarkan paten
Indonesia 2012. ECCT dan ECVT adalah setara dengan radioterapi untuk
terapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet
pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel
dan jaringan.
ECVT dan ECCT jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker
berbasis gelombang energi non-radiasi. Dengan ECCT misalnya kasus yang
sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang
otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin
dibersihkan (dibersihkan, tanpa tanda kutip) dengan ECCT.
ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia.
Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Adanya
kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru.
Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita.
ECVT dan ECCT hanyalah teknologi yang dikembangkan berdasarkan
prinsip fisika dan matematis. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada
orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain.
12 tahun kemudian sejak pertama kali ECVT ditemukan, hari ini di
tempat yang sama saya mendapat surat dari sebuah lembaga agar saya
menghentikan semua kegiatan pengembangan riset saya di Indonesia.
Haruskah pertanyaan 12 tahun yang lalu perlu diulang: “Tak ada tempat
buat saya di Indonesia?”
Warsito P. Taruno
Tangerang, 30 Nopember 2015
Penjelasan Kemenkes Soal Pemberhentian Riset Warsito
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal, Kementerian
Kesehatan (Sekjen Kemenkes), Untung Suseno Sutarjo mengatakan,
pemberhentian izin riset Warsito Purwo Taruno telah dikaji mendalam oleh
Kemenkes. Selama ini, kata dia, pihaknya berusaha mengundang ke
Kemenkes untuk meminta penjelasan dan konfirmasi ihwal temuan Warsito.
“Kita sudah undang beliau berkali-kali untuk membicarakan risetnya, tapi dia tidak pernah datang,” ujar Untung kepada
Republika.co.id, Selasa (1/12).
baca juga
Cerita Warsito, beratnya perjuangan peneliti di Indonesia
Karena penolakan undangan itu, pihaknya pun menilai penelitian
Warsito tidak benar. Sebelumnya, pengembangan riset yang dilakukan
Warsito Purwo Taruno selama ini harus dihentikan oleh pemerintah melalui
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
(Balitbang Kemenkes). Menurut Warsito, pencabutan izin ini dilakukan
karena temuannya dianggap tidak berbasis ilmiah.
Penghentian ini tertera dalam surat Kementerian Kesehatan dengan
nomor HK.06.01/IV/2444/2015 yang ditandatangani oleh Sekjen Kemenkes
pada 20 November 2015.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa teknologi Electrical Capacitance
Volume Tomography (ECTV) dan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT)
yang dimiliki Warsito belum memenuhi prosedur penelitian sebagaimana
nota kesepakatan bersama.
Sebelumnya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Kemenkes telah menandatangani nota kesepakatan bersama
dengan PT Edward Technology tentang penelitian ECVT dan ECCT. Hasil
kegiatannya diharapkan bisa menjamim keamanan dan kemanfaatan apabila
diterapkan bagi manusia.